“Karena nila setitik, rusak susu sebelanga” demikian diungkapkan pepatah ini oleh seorang pejabat Kantor Pajak di daerah ini ketika menjadi narasumber di sebuah talkshow yang saya pandu beberapa waktu lalu.
Ungkapan tadi memang beralasan, ditengah gempuran maraknya “Gerakan Stop Bayar Pajak” buntut kekecewaan masyarakat Indonesia terhadap kinerja petinggi perpajakan dan keuangan di negeri ini.
Lalu? adil kah kita ikut berseru seperti itu? KASUS seorang anak pejabat Ditjen Pajak dan seorang pejabat tinggi di Ditjen Bea Cukai telah mencederai kepercayaan masyarakat kepada Kementerian Keuangan.
Sebagian masyarakat menjadi skeptis bahwa penerimaan negara telah disalahgunakan oleh sebagian kalangan di Kementerian Keuangan untuk bergaya hidup hedonis.
Mungkin ada benarnya, tapi kita juga perlu melihat konteksnya terlebih dahulu.
Kementerian Keuangan dan KPK telah bergerak cepat dengan mendalami laporan-laporan masyarakat dan data-data di LHKPN para oknum pejabat tersebut. Mereka telah dicopot dari jabatannya (kemenkeu.go.id, 1/3/2023).
Kita tidak bisa menyalahkan institusinya, karena pembenahan di internal Kementerian Keuangan telah dilakukan pada semua sisi.
Penting bagi kita untuk fokus pada konteks kasusnya dan oknumnya. Jikapun di suatu organisasi masih terdapat kekurangan, maka perlu mendapat perhatian untuk segera diperbaiki.
Pajak sendiri memberikan manfaat dan ini berpotensi tergerus lewat gerakan tidak bertanggung jawab tersebut. Untuk itu, kepercayaan publik harus segera dikembalikan, terutama edukasi bahwa pajak dikelola, diawasi, dan dipergunakan sebagaimana mestinya.
Kembali lebih disampaikan secara masiv ke masyarakat, memang ini ibarat seperti “berjalan ditengah badai”.
Penulis : A. Effendy