MARTAPURA – Bedah buku berjudul “Model Mediasi dalam Sengketa Informasi” karya Dr. KH. Muhari, S.Ag., M.I.Kom., berlangsung dengan antusiasme tinggi di Aula Disbudporapar Kabupaten Banjar pada hari Rabu, 18 Desember 2024. Acara tersebut menghadirkan diskusi yang dinamis mengenai pendekatan inovatif dalam menyelesaikan sengketa informasi publik melalui mediasi, sebuah metode non-litigasi yang dianggap lebih efektif.
Dalam forum ini, Dr. Yati Nurhayati, S.H., M.H., Komisioner Komisi Informasi Kalimantan Selatan, menyoroti pentingnya mediasi sebagai solusi yang lebih cepat dan efisien dibandingkan proses litigasi formal. Menurutnya, mediasi dapat mempercepat penyelesaian sengketa tanpa harus melewati prosedur hukum yang panjang. Meski demikian, Dr. Yati mengingatkan bahwa masih ada tantangan yang perlu diatasi, seperti rendahnya literasi informasi di kalangan masyarakat serta resistensi dari beberapa badan publik untuk terlibat secara aktif dalam mediasi.
“Mediasi adalah instrumen yang sangat potensial untuk menyelesaikan sengketa informasi. Namun, hal ini harus disertai dengan upaya peningkatan kapasitas mediator dan sosialisasi yang luas agar masyarakat lebih memahami hak-hak informasi mereka,” ujar Dr. Yati dalam paparannya.
Sejalan dengan itu, Dr. Fahrinoor, S.I.P., M.Si., seorang akademisi dari Universitas Lambung Mangkurat (ULM), menambahkan bahwa sensitivitas terhadap budaya lokal merupakan kunci keberhasilan dalam proses mediasi. Ia mencontohkan bagaimana karakteristik masyarakat di beberapa wilayah, seperti budaya “ewuh pakewuh” atau rasa sungkan, sering menjadi hambatan tersendiri dalam membangun dialog yang terbuka.
“Mediasi harus dilakukan dengan pendekatan budaya yang inklusif. Sensitivitas terhadap budaya lokal dapat menjadikan proses mediasi lebih efektif, sekaligus menciptakan solusi yang diterima oleh semua pihak,” jelas Dr. Fahrinoor.
Di sisi lain, Dr. MS Shiddiq, S.Ag., M.Si., seorang penggiat literasi media yang juga menjadi pembahas dalam acara ini, mengapresiasi buku karya Dr. Muhari sebagai sebuah inovasi yang relevan dengan kebutuhan keterbukaan informasi publik saat ini. Buku tersebut, menurutnya, tidak hanya menawarkan konsep yang teoretis, tetapi juga panduan praktis yang dapat diimplementasikan dalam berbagai situasi sengketa.
“Model mediasi yang ditawarkan dalam buku ini, seperti facilitative mediation dan transformative mediation, menekankan pada dialog terbuka serta upaya membangun solusi bersama. Pendekatan ini tidak hanya menyelesaikan sengketa, tetapi juga membangun kepercayaan antara pemerintah dan masyarakat,” terang Dr. Shiddiq.
Acara yang dipandu oleh Dr. Wahyudi Rifani ini berhasil menarik perhatian para akademisi, praktisi, dan pemerhati keterbukaan informasi publik. Para peserta memberikan apresiasi tinggi atas gagasan-gagasan yang diangkat dalam buku tersebut, yang dianggap sebagai referensi penting untuk menyelesaikan sengketa informasi dengan cara yang adil, transparan, dan berkeadilan.
Dalam sambutannya, Dr. KH. Muhari, yang biasa disapa Guru Muha, menyampaikan rasa terima kasih kepada para pembahas, pemateri, dan peserta yang telah menghadiri serta menyemarakkan acara bedah buku ini. Ia menyebutkan bahwa berbagai masukan yang diberikan dalam diskusi akan menjadi bahan pelengkap yang sangat berharga untuk karyanya di masa mendatang.
“Masukan-masukan dari para pembahas dan peserta akan menjadi tambahan warna bagi isi buku ini. Saya berharap buku ini dapat memberikan pencerahan dan menjadi panduan bagi para pihak yang berkepentingan dalam menyelesaikan sengketa informasi publik,” ujar Dr. Muhari.
Sebagai informasi, Dr. KH. A. Muhari lahir di Banjarmasin pada 12 Juni 1977. Beliau berasal dari keluarga dengan latar belakang agama yang kuat dan merupakan keturunan Sunan Cendana Madura atau Zainal Abidin, yang dikenal sebagai Puju Cendana. Kepeduliannya terhadap pendidikan dan dakwah telah muncul sejak usia muda. Hal ini mendorongnya untuk meraih gelar doktor sebagai bekal dalam menyebarkan ajaran Islam dan pendidikan moral.
Guru Muha juga dikenal sebagai Pimpinan Pondok Pesantren dan Panti Asuhan Raudlatul Muta’allimin Annahdliyah (RMA) di Guntung Manggis, Landasan Ulin, Kota Banjarbaru. Pesantren ini didirikan dengan tujuan mendidik generasi muda yang berakhlak mulia, beradab, dan kompeten dalam bidang tahfidz Al-Qur’an serta literasi bahasa Arab dan kitab kuning.
Melalui pesantrennya, Guru Muha berharap dapat memberikan kontribusi nyata dalam mengatasi tantangan bangsa, terutama dalam membangun karakter dan akhlak generasi muda. Dengan buku “Model Mediasi dalam Sengketa Informasi,” beliau berupaya memberikan kontribusi tambahan dalam menciptakan tata kelola informasi publik yang lebih baik dan berkeadilan di Indonesia.